Hujan
turun..
Perbincangan
itu berhasil ku rekam dalam otakku, perbincangan yang berlangsung di sebuah
taman mini yang sebenarnya adalah halaman sebuah rumah yang sengaja dijadikan
asri oleh sang penghuni, berisikan bermacam macam tanaman. Ada apel, jeruk
purut, mahkota dewa, cabe, pohon saga, sirih, bonsai, bunga mawar dan pohon
tomat. Ya, mereka berbincang-bincang kawan, pohon pohon itu berbicara. Perbincangan
yang sulit diterima akal sehat memang, namun jika kita mau menanggalkan
kewarasan kita, kita bisa mendengar mereka yang sedang berbincang, semakin
tidak waras semakin jelas tiap kata yang mereka ucapkan. Hanya saja kita masih
bebal mempertahankan kewarasan yang kita anggap paling mumpuni dan ampuh mencapai
tujuan hidup, tapi lihat? Bisa terlihat? Keadaan bumi seakan menunjukan tujuan
kewarasan kita sekarang. Kehancuran.
“Namaku
tomat, tanpa hujan aku akan kehilangan nyawa. Maka dari itu aku lebih tertarik
menyembah air, ketimbang api. Banyak agama di taman ini, aku mempercayai air
yang memberiku kehidupan, sirih sahabatku beragama tanah, pohon nangka beragama
matahari, lebih jauhnya para pohon menjulang di pelataran rumah tetangga
menyembah api, karena menurut mereka jika matahari tak berapi, takkan ada
kehidupan di dunia ini. tapi aku lebih suka air, karena hujan lebih segar,
memberikanku kesejukan. Teman baikku adalah tanah alluvial coklat kehitaman
yang kaya akan hara, semacam rizobium, cacing dan seekor ulat bulu hitam. Yang
menarik adalah aku berbakat merubah segala bentuk kekotoran dalam tanah menjadi
daftar nutrisi yang melimpah seperti magnesium, kaluim, besi, yodium, tembaga,
seng, vitamin A, C, dan masih banyak lagi. Aku besar secara organic, maka dari
itu si ulat bulu masih dengan nyaman mengunyah dedaunanku. Aku lebih baik dari
manusia yang tidak mengetahui apa apa mengenai kehidupan sebelum mereka
dilahirkan. Aku tahu benar bagaimana aku bisa tumbuh besar”
“Kira
kira begini ceritanya”
“Satu
biji yang dibuang seorang anak muda dari mulutnya yang merasa tidak nyaman
ketika menyeruput jus tomat dari warung dimana aku disenangi dan dijajakan
untuk dipotong, di-blend dan diberi
es. Aku terima saja, karena aku menyimpan ribuan informasi dalam bagian bagian diriku
yang takkan hilang, yang saat itu hanya berupa biji biji. Aku menyimpan semua
informasi lengkap tentang dunia, bumi, tanah, serangga, cuaca, termasuk anak
muda tadi dalam manifestasi mungil, biji bijiku. Sengaja ataupun tidak, anak
muda itu meludahkan satu bijiku ke pekarangannya. Aku bahagia”
“Dan
inilah aku, kau lah anak muda itu. Kita terikat takdir” katanya padaku ketika
kami saling berhadapan.
Ku
lihat dari tanah yang gembur, menjulang sebatang hijau kecil pohon tomat
berumur dua bulan. Tidak lebih dari satu meter, pohon itu memiliki buah buah
yang mungil, masih hijau. Dengan daun yang cukup rimbun untuk ukuran sebangsa Solanaceae (terong terongan). Di ujung salah
satu daun daunnya yang berbulu dari tangkai yang menjauh ke barat, bertengger
seekor ulat bulu hitam gendut dengan tenang sedang tertidur pulas, sedangkan
aku di timur,. Seakan menyadari perhatianku pada sang ulat si tomat berbicara
melalui stomata stomata di sekujur tubuhnya.
“jangan
ganggu dia, dia berhak hidup”
“aku
geli melihat seekor ulat hitam di tanaman tomat yang hijau, terlalu mencolok.
Dia seakan membuatku gatal gatal”
“dia
belum sama sekali menyentuhmu. Itu perasaanmu saja. Manusia, saat ini sangat
lemah terhadap alam, mereka menjauh dari kekerasan alam dan berlindung di titik
nyaman tanpa mau belajar menjadi the
fittest. Sedikit sedikit alergi. Seperti gelas tipis yang mudah pecah saja
kau ini. Jika seleksi alam berlangsung seperti yang terjadi di ribuan tahun
lalu, gas racun, ledakan meteor, gunung meletus dll. Spesies manusia hanya akan
punah seketika. Sedangkan para tanaman akan mempertahankan keberlangsungan kehidupan
di bumi dengan menyimpannya baik baik dalam biji biji mereka”
“tolong
katakan pada ulat itu untuk tidak mengganggu manusia”
“tidak
ada yang mau ikut campur dengan urusan manusia di taman ini. Manusia yang
mencampuri urusan kami para tanaman. Apalagi si ulat, dia hanya bisa makan, kau
tidak akan menyesal tidak membunuhnya setelah melihat dia mengepakkan sayap
sayapnya”
“baiklah,
aku harus pergi”
“ya,
pergilah”
Aku
pergi, karena tuntutan peradaban yang sedang dan harus ku jalani. Rutinitas. Namun
perbincangan dengan tomat ku pikirkan terus menerus, semua terjadi tanpa bisa ku
jelaskan dengan akal sehat. Aku gila. Yang jelas, aku bisa mendengarnya
mengatakan semua itu melalui semacam senyawa kimiawi yang dia keluarkan dari
sekujur tubuhnya lalu ku cerna di otakku begitu saja, mungkin stomata-stomata
yang menyerupai mulut itu yang membuatnya bisa bicara. Bukan hanya tomat
sebenarnya, tapi pohon lain pun, semua seperti sambungan telefon, memiliki
koneksi dan kode masing masing agar terhubung yang bisa kau koneksikan dengan
hati dan otakmu. Dalam hal ini aku lebih terikat dengan tomat karena ikatan
takdir kami. Pernah ku pertanyakan fenomena ini kepada si tomat. Dalam umurnya
yang hanya 4 bulan, dia mengatakan mungkin saja kulitku menerima semua impuls
senyawa kimiawi darinya dan menerjemahkannya dengan proses neuron biasa.
“Neurosis?
Psikoneurosis kah? Itu artinya mentalku terganggu!” pekikku di tengah rutinitas
yang mengagetkan orang orang di sekitar. Aku malu.
Ya,
rasa malu menunjukan aku masih menjaga kehidupan sosialku. Bagaimanpun juga,
aku hidup dalam peradaban yang tidak menganggap normal sebuah perbincangan dengan
pohon tomat, aku harus menyimpan kegilaanku bersama tomat dan mengedepankan kewarasanku
bersama manusia. Aku harus sadar betul itu, menjadi the fittest yang dikatakan tomat tidak sama dengan the fittest abad ini, semua tentang
uang. Jika seseorang memiliki uang banyak, dia yang akan menjadi the fittest. Ku pikir tak ada yang mau
mempekerjakan orang yang berbicara dengan pohon tomat, aku harus jadi the fittest. Aku bisa langsung dipecat
jika ketahuan punya semacam ketidakwarasan berbincang-bincang berssama tomat”.
Tatanan abad ini, menuntut kewarasan sebelum menjadi tidak waras sepenuhnya
karena mabuk kekayaan. Aku belum kaya, untuk itu aku butuh kewarasan lebih dari
apapun saat ini, setelah itu akan ku tanam berhektar hektar perkebunan tomat
untukku ajak mereka beribancang bincang sepanjang waktu hingga tutup usiaku.
Tapi belum saatnya, tidak.. maafkan aku tomat, saat itu ku putuskan tuk menjahi
tomat. Aku harus menjauhimu.
Dan
ku jauhi tomat pelan pelan. Hasrat untuk menjadi waras selalu saja tertanggu
jika aku melewati taman dan melihat si tomat yang sedang tersiram sinar
matahari, menjadi tidak waras ternyata adalah kemampuan alami yang menyenangkanku.
Jadi sesekali aku masih menguping pembicaran si tomat dengan pohon lain. Hampir
dua minggu aku tak duduk di taman rumah, bisa dibayangkan betapa gilanya aku di
mata orang ketika mereka melihat aku berbincang dengan pohon tomat.
Tapi
semua berubah..
Suatu
hari, ketika pohon apel berbuah. Semua tanaman di halaman seperti sibuk
membicarakan sang primadona yang baru saja lahir, merah menyala.
“Lihat,
aku iri sekali pada apel merah itu.. begitu merah menggoda” Kata si mawar yang
kalah merah.
“Sebenarnya
menjadi cantik adalah kutukan, apel dikutuk dalam banyak cerita. Snow White, kau tahu bagaimana apel dikesankan
disana. Adam dan Hawa. Issac Newton, walapun kasusnya berbeda, setidaknya
cerita cerita manusia itu memberi kesan mistis pada buah itu” Sirih menyangkal.
“Bukan
itu saja, kalian tau Alan Turning si bapak computer modern, meninggal bunuh
diri karena frustasi terlahir gay, dia mati dengan mengigit apel yang
mengandung sianida” Mahkota dewa menambahkan
“Aku
sirih, jika ku punya kekuatan sihir aku akan merubah daun daunku menjadi merah
menyala. Tangkaiku akan ku rubah jadi kuning keemasan, lalu kuncupku akan
berwarna merah muda yang lembut menenangkan hati yang melihatnya”
“Kalian,
bisakah kalian bersyukur? mawar, duri kita adalah anugrah, apel merah itu hanya
akan menggoda penjahat untuk memetiknya. Percayalah kita tercipta dengan
kelebihan dan kekurangan masing masing” Jeruk purut yang sedari tadi mengerut
dahi, mulai angkat suara.
“Ini
keinginan yang sangat alami. Aku bosan diciptakan tidak mampu bergerak kesana
kemari. Hanya terpaku, diam hingga akhir hayat. Aku ingin menusukkan duri
duriku pada mereka yang sengaja merusak keindahanku. Kita diciptakan Tuhan menjadi
makhluk yang sangat pasif, patutkah kita bersyukur?” Sanggah mawar
“Bayangkan
saja, jika kita berjalan jalan, aktifitas bumi akan kacau karena banyak dari
kita yang terlampau besar jika berjalan bersama makhluk lainnya. Bagaimana
burung burung bisa bersarang dan bertengger jika kita hilang dari tempat seharusnya
kita berada. Tanah yang kita pijak sudah beraspal dan berbatu. Tidak kah kau
mengerti, kita akan mati jika diciptakan bisa bergerak bebas. Kita harusnya
bersyukur tercipta pasif, tanah yang kita pijak adalah bentuk kekokohan hidup
kita” Timpal jeruk purut
“Kau
lupa aku percaya matahari? Kau memang penganut kepercayaan tanah yang taat”
Entahlah,
dari perbincangan para pohon, aku menangkap banyak pesan bijak. Mereka
menyimpan banyak informasi yang luar biasa tentang bumi. Bahkan banyak hal
menyangkut manusia. Perbincangan sebenarnya masih berlanjut, hanya saja, dari
tadi aku tak mendengar si tomat berbicara sepatah katapun. Biasanya dia
ceriwis. Ku lirikkan mataku pada sudut taman yag lain. Ku perhatikan dia. Ah..
dia masih berdiri anggun di atas tanah, si ulat sudah menjadi kepompong
ternyata.
“Hey
tomat, sudahlah dia bukanlah jodohmu” Kali ini cabe angkat suara
“Aku
tak ingin mendengar apapun darimu”
“Kau
bukanlah sebangsa buah buahan, apalagi apel yang merah merona indah, bahkan
hingga saat ini kau masih membingungkan banyak makhluk, kau termasuk buah atau
sayuran”
“Aku
ya aku, aku tomat”
“Pupuskan
saja rasa cintamu itu pada apel, lihat dia.. tingginya 4 kali lipat lebih
tinggi derajatnya ketimbang kita”
“Aku
hanya mengaguminya, tidak mencintainya.. kau tahu? Semacam perasaan yang tidak
bisa kau sampaikan pada bulan di angkasa, jika kau hanya punguk yang bisa
terbang di ketinggian 20 meter”
Tomat
menyukai apel? Pertanyaan itu tumbuh seperti rumput dalam hati. Rasanya lucu
memikirkan hal ini. tapi dari postur yang terlihat, entah karena sikap angin
yang terlau menghembus, tubuh tomat seakan miring dengan pose yang sedang
menengadah memandangi apple yang menjulang di hadapannya, membuatku miris. Lalu
pandanganku ku alihkan ke pohon apel yang lebih tinggi tersebut. Merah.
Siapapun penghuni rumah termasuk aku bisa memetiknya kapanpun mereka mau, tapi
yang lebih berhak adalah nenek, karena dia yang senantiasa mengurus taman.
Seakan
ingat Tuhan, aku ingat rutinitasku esok hari. Gila banyaknya tugas dan kerjaan
kantor. Ku simpan saja semua ketidakwarasan ini, ku lupakan tomat. Pukul 23 di
menit ke 37 detik ke 10, terbelesit kejantananku. ku pikirkan kekasihku Eva
yang esok hari setelah pulang dari rutintias kantor, kami akan membicarakan
soal keseriusan kami pada ayah dan ibuku, juga nenekku. Setelah itu baru ke
rumah Eva untuk melamarnya langsung pada kedua orangtuanya. Ah.. bahagia namun
sedikit menegangkan, tapi itulah laki laki, menyukai ketegangan dan tantangan.
Esok hari adalah tantagan. Harus ku persiapkan energiku untuk besok. Ku
pejamkan mata.
Pagi.
Matahari seakan tak mau bertanggungjawab telah menghamili bumi, bersembunyi di
balik awan awan yang tebal. Aku melangkah kokoh menuju hari ini, Aku bukan
matahari.
“A,
aduh neng deg-degan, takut sama mamah kamu..”
“Emang
si mama teh mau ngapain kamu? Da aa teh udah gede, udah mantap sama kamu. Kamu
ge harus mantap. Sing pede nyak..”
“Fiuuhh..”
ku lihat senyum di bibir Eva, dia melihat ke arahku, raut mukanya seakan
mengatakan “aku siap”. Senyum tipis menghiasi kami yang memasuki rumah, senyum
berkembang menjadi tawa, tawa merekah jadi riang canda.
“Tinggal
ke rumah kamu sayang..” kataku sembari mencubit pipi Eva sembari ke luar dari
pintu.
“Iyaaa..
Alhamdulillah ya a” kataya sumringah, mukanya seperti mawar yang mekar.
Seketika pandanganku langsung bertuju pada bunga mawar indah di taman yang juga
merekah merah muda sepeti pipi Eva. Akan ku petik dan ku sisipkan di telinga
Eva untuk menambah kebahagiaannya. Namun tanpa ku sadari mata Eva telah terpaku
pada hal lain. Perhatianku pun teralihkan.
“A
apelnya minii merah.. jigana enak”
Tanpa
pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju apel yang bisa ku petik dengan mudah.
Hanya tinggal beberapa inci antara tanganku dan apel, aku mendengar jeritan
jeritan. 10 suara pekikan tajam menusuk telingaku.
“Tidaaaaaaaaaaaaak”.
Sirih dan cabe menjerit
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaakk”
Mawar, jeruk purut menjerit histeris
“Jangaaaaaaaaaaaannnn”
Tomat menangis
Tanaman
tanaman itu menjerit. Apa boleh buat, apel sudah di tangan. Dengan bingung ku
jauhi taman, tak mau disangka gila oleh Eva, aku berlagak tak mendengar mereka.
Ku serahkan apel itu pada Eva dengan tenang aku mengatakan “You are the apple
of my heart”. Eva tersipu, pipi dan senyumnya merona indah. Lalu kami
memakannya berdua.
Semenjak
itu tak pernah ku dengar perbincangan para tanaman lagi, telingaku jadi tuli.
Atau mereka yang tak mau bicara padaku lagi, entahlah. Pernikahanku akan berlangsung
di penghujung musim hujan. Dan hari ini musim peralihan, hujan memang tidak
turun. Tapi kehangatan matahari menyiram tubuhku. Untuk tomat, ku titikan air
mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar