Di kampus lima lampu taman
seperti lollipop raksasa rasa susu atau vanilla yang pasti akan dilahap balita
raksasa yang nakal jika dia melewati daerah ini. Rerumputan hijau yang
terbentang beberapa petak saja akan menjadikannya hutan lebat jika aku menciut
menjadi liliput dan berpetualangan bersama semut semut mencari sebongkah gula
atau permen. Langit sore adalah telur
dadar goreng dengan kocokan yang tak sempurna karena masih meninggalkan putih
telur menggumpal bertebaran menjadi awan awan. Aku hanya sedang menunggu
seorang teman memberi kabar, aku juga menanti seorang laki laki menanyakan
kabar, sepertinya aku juga cemas mengharapkan sebuah percakapan keluarga saling
memberi kabar. sebenarnya aku sedang menahan lapar, handphone yang sedari tadi
ku pandangi telah ku bayangkan menjadi sepotong cake rasa coklat, pin yang
sengaja dikaitkan di tas hijauku sudah kuanggap kudapan dengan baluran madu,
jika saja satu diantara mereka tak membuatku menunggu, aku pasti telah tengah
menikmati music dan mencamil roti gandum sambil berjalan santai sembari berpetualangan kecil dengan pepohonan
di sekitaran kampus. Tapi nyatanya hujan turun seperti jejaring laba laba yang
runtuh dari langit, serabutnya menjaring siapa saja yang tanpa perlindungan.
Tak ada yang bisa ku perbuat selain bersandar di ujung tembok mencari
kehangatan..Setelah percekcokan tadi siang dengan jiwa, aku masih keras kepala
tak mau merubah surat, dia tidak mau muncul di keramaian, tentu saja tidak, ada
banyak yang terjebak hujan.
“Hey lelaki malang,,” suara kecil
tanpa wujud.
“tak ada yang berhak
mengasihaniku!”
“tapi kau pantas dikasihani..”
“siapa kau, tunjukan wujudmu!”
Seekor burung, seperti onde onde
dilumuri coklat terbang turun, burung itu basah kuyup berteduh di teras sudut
gedung Zb. Burung pipit, mungil dan mengigil.
“apa kau yang bicara padaku
burung kecil?”
“siapa lagi disini yang mau
mengajakmu bicara?”
Aku kaget bukan kepalang, seekor
burung datang dari langit mengajakku beribcara, dia mengasihaniku, Tuhan mengasihaniku.
“apa kau utusan tuhan burung
kecil?”
“tidak, aku hanya kehujanan
ketika terbang menuju sarang dan melihat tatapan sedihmu”
“aku pikir kau Jibril yang
menyuruhku membaca, aku bisa membaca”
“apalagi aku bisa membaca
pikiranmu”
“kau Jibril”
“bukan”
“bawa aku terbang wahai burung
kecil”
“tidak bisa, sayapku terlalu
mungil untuk menopang tubuhmu yang penuh dosa, berat. Kau berat”
“apa kau burung bulbul?”
“itu dewa kami”
“aku pikir dewamu, burung ababil”
“itu dewa para burung pemangsa”
“jadi kau hanya ikut berteduh
disini?”
“tidak juga, aku dari tadi
memperhatikanmu, seandainya aku rajawali, aku akan membawamu terbang”
“ku pikir rajawali juga masih
terlalu kecil memikulku”
“garuda”
“masih terlalu kecil”
“Jibril”
“tidak buruk”
“kita sama sama terjebak hujan”
“iya, dasar laba laba langit
memang genit”
“oya mulailah sebuah
perbincangan, sepertinya kau punya banyak untuk diperbincangkan”
“tidak ada, aku hanya merasa
buruk hari ini”
“Kenapa?”
“karena ini hari selasa”
Sementara burung dan aku
menghindari cipratan air, kami melihat seekor cacing merayap pelan sekali
diatas tanah basah, mencoba merayap menuju teras yang minim air, sepertinya dia
kewalahan melawan air, mungkin rumahnya dalam tanah terendam air, sehingga dia
keluar mencari oksigen. Meskipun cacing memiliki system respirasi khusus
melalui sekujur tubuhnya, kulit dan cairan tipis yang membungkus tubuhnya,
kutikula menyulap oksigen yang minim dalam tanah, kulitnya menyerap udara dan hemoglobin
mengikatnya langsung melalui pembuluh
darah kapiler yang menyebarkan oksigen ke seluruh tubuh. Tubuh cacing memang
85% terdiri dari air, tapi tetap saja dia tidak memiliki kepraktisan insang
untuk menyaring oksigen dalam air. Sang cacing terlihat lemas merayap, dia
menjadi seperti mie yang diresapi saos tomat diatas mangkuk yang penuh kuah
bumbu rempah rempah coklat dari kuah kaldu ayam, mie ayam depan kampus. Ku
kibaskan tasku kebelakang, sembari menghindari air, dan membawa ranting yang
tergeletak di dekatku, ku selamatkan cacing dan membawanya mendekat.
“hey apa yang kau lakukan laki
laki?”
“Aku menolongmu”
“kau malah mendekatkanku pada
burung sialan itu, dia akan memangsaku”
“hey cacing, aku tidak suka
cacing, aku suka bebijian, aku vegetarian” kata burung ketus.
Cacing tak percaya, dan menjauhi
kami. Tapi tak lama kemudian dia berbalik kembali dengan angkuh dan marah.
“Tapi aku takkan melupakan kaummu
yang telah membunuh keluargaku!”
Burung mengepakkan sayapnya tanda
tak setuju, bulu bulunya sedikit demi sedikit mengering.
“Tapi kau juga tidak bisa
menyalahkan aku untuk sebuah kesalahan yang tidak ku perbuat!”
“Itu kesalahanmu karena kau
terlahir sebagai burung, pemangsa para cacing yang tidak berdaya!”
“Namamu pasti Hitler cacing!, kau
pasti reinkarnasi si kejam Najis itu”
“APA hubungannya aku dengan orang
itu? Kenal pun tidak”
“Tak usah kau sombong, kau ku
patuk sekali saja pasti mati, seharusnya kau berterimakasih pada anak itu
karena menyelamatkanmu dari tenggelam”
“Tidak akan pernah, dia
menjijikan, sama menjijikannya seperti kamu”
“Hey, apa yang kau katakan
cacing, jadi kau tidak suka aku selamatkan?” tanyaku juga sedikit marah.
“Tentu saja, aku lebih baik mati
terhormat tenggelam daripada disini berbaur menghirup nafas dari udara yang
sama kalian hirup”
Aku dan burung saling
berpandangan, cacing terlihat seperti cacing, menggelinjang merah, dari
kulitnya terlihat jelas urat uratnya yang mengilrkan darah. Menjijikan. Dia
bukan mie ayam berbalur saos.
“kami tidak merasa punya salah
padamu cacing, tapi kau menyalahkan kami”
“Demi Tuhan, kalian memang
bersalah, keberadaan kalian di bumi sebagai perusak dan penghancur”
“Seharusnya kau salahkan Tuhan
karena menjadikanmu makanan kaum burung” ketus burung, “kau tidak pantas dihormati, kau congkak dan
tidak bijak”
Si cacing menghela nafas panjang,
mungkin perkataan burung membuatnya telak, lalu dia pergi meninggalkan kami
dengan pelan, aku dan burung berpandangan. Tak disangka Hitler bereinkarnasi
menjadi makhluk naas seperti itu. Seperti tak ingin menghiraukan gangguan kecil,
burung menyunggingkan senyum.
“Tadi sampai mana kita?” tanya
burung.
“Mmm.. sepertinya sampai hari
selasa.”
“Ya, mengapa selasa, ada apa
dengan selasa, bukankah itu hari ini?”
“Iya, aku hari ini mengerjakan
tugas, aku pikir tugas itu tidak dikumpulkan hanya sekedar dibahas dalam kelas,
jadi tidak aku print. Karena penghamburan kertas, ternyata tugas itu
dikumpulkan. Aku sebal dan kesal, usahaku sia sia sial”
“hanya itu saja? Ckckckck.. kau
terlalu berlebihan”
“ya begitulah, itu hanya satu
dari akumulalsi kesedihan hari selasa”
“ada apa lagi?”
“tak bisa ku ceritkan sekarang,
sepertinya hujan juga mulai reda.. aku kelaparan”
“iya, tentu saja kau harus makan,
aku pun juga harus segera terbang dan mengecek kondisi sarang setelah hujan”
“Kalau begitu kita akhiri sampai
disini saja, nanti kita sambung lagi yaa...”
“tapi, sepertinya masih gerimis
burung, apa kau akan baik baik saja?”
“ayolah, gerimis takkan bisa
membunuh seorang pejuang kehidupan”
Aku tersenyum,, burung itu mungil
dan entah kenapa aku merasa kami ada kecocokan, paruhnya yang kuat memberinya
kehidupan, sayapnya yang mungil mampu membwanya terbang, bulunya yang kelam
mampu membuatnya tetap hangat, matanya yang jernih mampu melihat kejujuran dan
ketulusan, kakinya yang kokoh membantunya berdiri dikala angin berhembus
kencang. Oh burung kecil.
“Selamat jalan Jibrilku...”
Si burung pun terbang, menuju
langit yang tidak lengang.. aku masih harus menghadapi selasa yang masih cukup
panjang, yang sepertinya akan membuatku tidak senang, ah.. Dasar makhluk
malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar