Rabu, 12 Desember 2012

GEJE


Di kampus lima lampu taman seperti lollipop raksasa rasa susu atau vanilla yang pasti akan dilahap balita raksasa yang nakal jika dia melewati daerah ini. Rerumputan hijau yang terbentang beberapa petak saja akan menjadikannya hutan lebat jika aku menciut menjadi liliput dan berpetualangan bersama semut semut mencari sebongkah gula atau permen.  Langit sore adalah telur dadar goreng dengan kocokan yang tak sempurna karena masih meninggalkan putih telur menggumpal bertebaran menjadi awan awan. Aku hanya sedang menunggu seorang teman memberi kabar, aku juga menanti seorang laki laki menanyakan kabar, sepertinya aku juga cemas mengharapkan sebuah percakapan keluarga saling memberi kabar. sebenarnya aku sedang menahan lapar, handphone yang sedari tadi ku pandangi telah ku bayangkan menjadi sepotong cake rasa coklat, pin yang sengaja dikaitkan di tas hijauku sudah kuanggap kudapan dengan baluran madu, jika saja satu diantara mereka tak membuatku menunggu, aku pasti telah tengah menikmati music dan mencamil roti gandum sambil berjalan santai  sembari berpetualangan kecil dengan pepohonan di sekitaran kampus. Tapi nyatanya hujan turun seperti jejaring laba laba yang runtuh dari langit, serabutnya menjaring siapa saja yang tanpa perlindungan. Tak ada yang bisa ku perbuat selain bersandar di ujung tembok mencari kehangatan..Setelah percekcokan tadi siang dengan jiwa, aku masih keras kepala tak mau merubah surat, dia tidak mau muncul di keramaian, tentu saja tidak, ada banyak yang terjebak hujan.
“Hey lelaki malang,,” suara kecil tanpa wujud.
“tak ada yang berhak mengasihaniku!”
“tapi kau pantas dikasihani..”
“siapa kau, tunjukan wujudmu!”
Seekor burung, seperti onde onde dilumuri coklat terbang turun, burung itu basah kuyup berteduh di teras sudut gedung Zb. Burung pipit, mungil dan mengigil.
“apa kau yang bicara padaku burung kecil?”
“siapa lagi disini yang mau mengajakmu bicara?”
Aku kaget bukan kepalang, seekor burung datang dari langit mengajakku beribcara, dia mengasihaniku, Tuhan mengasihaniku.
“apa kau utusan tuhan burung kecil?”
“tidak, aku hanya kehujanan ketika terbang menuju sarang dan melihat tatapan sedihmu”
“aku pikir kau Jibril yang menyuruhku membaca, aku bisa membaca”
“apalagi aku bisa membaca pikiranmu”
“kau Jibril”
“bukan”
“bawa aku terbang wahai burung kecil”
“tidak bisa, sayapku terlalu mungil untuk menopang tubuhmu yang penuh dosa, berat. Kau berat”
“apa kau burung bulbul?”
“itu dewa kami”
“aku pikir dewamu, burung ababil”
“itu dewa para burung pemangsa”
“jadi kau hanya ikut berteduh disini?”
“tidak juga, aku dari tadi memperhatikanmu, seandainya aku rajawali, aku akan membawamu terbang”
“ku pikir rajawali juga masih terlalu kecil memikulku”
“garuda”
“masih terlalu kecil”
“Jibril”
“tidak buruk”
“kita sama sama terjebak hujan”
“iya, dasar laba laba langit memang genit”
“oya mulailah sebuah perbincangan, sepertinya kau punya banyak untuk diperbincangkan”
“tidak ada, aku hanya merasa buruk hari ini”
“Kenapa?”
“karena ini hari selasa”
Sementara burung dan aku menghindari cipratan air, kami melihat seekor cacing merayap pelan sekali diatas tanah basah, mencoba merayap menuju teras yang minim air, sepertinya dia kewalahan melawan air, mungkin rumahnya dalam tanah terendam air, sehingga dia keluar mencari oksigen. Meskipun cacing memiliki system respirasi khusus melalui sekujur tubuhnya, kulit dan cairan tipis yang membungkus tubuhnya, kutikula menyulap oksigen yang minim dalam tanah, kulitnya menyerap udara dan hemoglobin mengikatnya langsung  melalui pembuluh darah kapiler yang menyebarkan oksigen ke seluruh tubuh. Tubuh cacing memang 85% terdiri dari air, tapi tetap saja dia tidak memiliki kepraktisan insang untuk menyaring oksigen dalam air. Sang cacing terlihat lemas merayap, dia menjadi seperti mie yang diresapi saos tomat diatas mangkuk yang penuh kuah bumbu rempah rempah coklat dari kuah kaldu ayam, mie ayam depan kampus. Ku kibaskan tasku kebelakang, sembari menghindari air, dan membawa ranting yang tergeletak di dekatku, ku selamatkan cacing dan membawanya mendekat.
“hey apa yang kau lakukan laki laki?”
“Aku menolongmu”
“kau malah mendekatkanku pada burung sialan itu, dia akan memangsaku”
“hey cacing, aku tidak suka cacing, aku suka bebijian, aku vegetarian” kata burung ketus.
Cacing tak percaya, dan menjauhi kami. Tapi tak lama kemudian dia berbalik kembali dengan angkuh dan marah.
“Tapi aku takkan melupakan kaummu yang telah membunuh keluargaku!”
Burung mengepakkan sayapnya tanda tak setuju, bulu bulunya sedikit demi sedikit mengering.
“Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan aku untuk sebuah kesalahan yang tidak ku perbuat!”
“Itu kesalahanmu karena kau terlahir sebagai burung, pemangsa para cacing yang tidak berdaya!”
“Namamu pasti Hitler cacing!, kau pasti reinkarnasi si kejam Najis itu”
“APA hubungannya aku dengan orang itu? Kenal pun tidak”
“Tak usah kau sombong, kau ku patuk sekali saja pasti mati, seharusnya kau berterimakasih pada anak itu karena menyelamatkanmu dari tenggelam”
“Tidak akan pernah, dia menjijikan, sama menjijikannya seperti kamu”
“Hey, apa yang kau katakan cacing, jadi kau tidak suka aku selamatkan?” tanyaku juga sedikit marah.
“Tentu saja, aku lebih baik mati terhormat tenggelam daripada disini berbaur menghirup nafas dari udara yang sama kalian hirup”
Aku dan burung saling berpandangan, cacing terlihat seperti cacing, menggelinjang merah, dari kulitnya terlihat jelas urat uratnya yang mengilrkan darah. Menjijikan. Dia bukan mie ayam berbalur saos.
“kami tidak merasa punya salah padamu cacing, tapi kau menyalahkan kami”
“Demi Tuhan, kalian memang bersalah, keberadaan kalian di bumi sebagai perusak dan penghancur”
“Seharusnya kau salahkan Tuhan karena menjadikanmu makanan kaum burung” ketus burung,  “kau tidak pantas dihormati, kau congkak dan tidak bijak”
Si cacing menghela nafas panjang, mungkin perkataan burung membuatnya telak, lalu dia pergi meninggalkan kami dengan pelan, aku dan burung berpandangan. Tak disangka Hitler bereinkarnasi menjadi makhluk naas seperti itu. Seperti tak ingin menghiraukan gangguan kecil, burung menyunggingkan senyum.
“Tadi sampai mana kita?” tanya burung.
“Mmm.. sepertinya sampai hari selasa.”
“Ya, mengapa selasa, ada apa dengan selasa, bukankah itu hari ini?”
“Iya, aku hari ini mengerjakan tugas, aku pikir tugas itu tidak dikumpulkan hanya sekedar dibahas dalam kelas, jadi tidak aku print. Karena penghamburan kertas, ternyata tugas itu dikumpulkan. Aku sebal dan kesal, usahaku sia sia sial”
“hanya itu saja? Ckckckck.. kau terlalu berlebihan”
“ya begitulah, itu hanya satu dari akumulalsi kesedihan hari selasa”
“ada apa lagi?”
“tak bisa ku ceritkan sekarang, sepertinya hujan juga mulai reda.. aku kelaparan”
“iya, tentu saja kau harus makan, aku pun juga harus segera terbang dan mengecek kondisi sarang setelah hujan”
“Kalau begitu kita akhiri sampai disini saja, nanti kita sambung lagi yaa...”
“tapi, sepertinya masih gerimis burung, apa kau akan baik baik saja?”
“ayolah, gerimis takkan bisa membunuh seorang pejuang kehidupan”
Aku tersenyum,, burung itu mungil dan entah kenapa aku merasa kami ada kecocokan, paruhnya yang kuat memberinya kehidupan, sayapnya yang mungil mampu membwanya terbang, bulunya yang kelam mampu membuatnya tetap hangat, matanya yang jernih mampu melihat kejujuran dan ketulusan, kakinya yang kokoh membantunya berdiri dikala angin berhembus kencang. Oh burung kecil.
“Selamat jalan Jibrilku...”
Si burung pun terbang, menuju langit yang tidak lengang.. aku masih harus menghadapi selasa yang masih cukup panjang, yang sepertinya akan membuatku tidak senang, ah.. Dasar makhluk malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar