Rabu, 19 Desember 2012

Aruphadatu


Dengan sikap mudra aku duduk bersila menghadap alam hijau yang terbentang di hadapanku. Menyatu dengan 504 arca lainnya aku terpaku. Warisan dunia ini bukan hanya sekedar warisan bagiku, ini lebih dari bekal menuju ranah tanpa wujud, arupadatu yang selama ini aku impikan sebagai tahap kesempurnaan seorang manusia, menjadi tiada. Tapi aku ada, berwujud, jadi aku tahu aku sedang tidak bermimpi. Jika saja aku adalah satu dari 504 arca ini, aku ingin  aku adalah srikandi yang kuncup dalam bungkusan stupa tertutup. Kekuatan hebat yang tersimpan dalam keanggunan amalaka, bagai kantung spora yang menyimpan energy kehidupan, sebagai rahim yang akan melahirkan hal yang luar biasa. Hanya saja aku mandul, aku belum mampu memfusi dengan alam, melebur bersama angin yg sekedar lewat apalagi membaca pesan yang mereka bisikkan. Dan lagi aku hanya seorang lelaki bingung dalam pelataran candi mewah, Borobudur nan indah, tak memiliki rahim. Ku perhatikan bangunan yang bisa ku perhatikan dari stupa yang sebenarnya tak boleh dinaiki tapi tetap nekat ku naiki. Hmmm… indah.  Pandangan ini terbatas, tak bisa ku lihat seluruh bangunan ini dari atas. Ku tengadahkan diri iini ke langit, magis rasanya berdiri di pelataran tertinggi, memikirkan kekerdilan kehidupanku, semua memori seperti relief yang otomatis tergambar berderet, bercerita kebodohan-kebodohan, dosa yang dipahat kuat dalam sejarah hidupku.  Miris, aku masih ragu menetukan arah, tersesat dalam ruang kamadatu, jiwaku terletak di ranah kamadatu, meskipun wujudku di arupadathu. Aku masih terpenjara obsesi yang kompulsif mengenai banyak hal duniawi. Sebuah Labyrinth, a maze of life.
“kau sudra, kau rendahan”
Candi seakan berbicara padaku. Aku mendengarkan. Aku mengakui. Entah dari mana suara itu berasal, ku pikir mungkin salah satu arca dalam bungkusan stupa.
“Jika sudra, deretan gambar mesum di kamadatu ,hawa nafsu dijadikan pondasi bangunan ini, bagaimana bisa bangunan ini dikatakan suci?”
“itu karma, ajaran Dharma paling dasar yang harus kau pelajari. Itu juga cerita manusia, selalu begitu adanya.. sebagai watak yang mengakar, kesenangan. Candi ini dibangun untuk memberi pelajaran pada siapapun, sutra yang tersirat untuk  siapapun yang menjadi budak hawa nafsu, akan tersadar. Kau tersadarkan wahai budak, kau kaum bawah”
“kau tau? Jika seluruh manusia mengikuti ajaran sang Budha. Takkan pernah ada regenerasi, takkan pernah ada keseimbangan. Bisa kau bayangkan, semua orang menjadi biksu? Gila.. Hubungan harmonis antara surga duniawi dan surga sebenarnya hanya sebatas kawat kaku, meditasi demi meditasi beku, dimana kehidupan menjadi hal yang statis. Dingin tak pernah dinamis”
“budak hawa nafsu, budak hawa nafsu. Aku bisa melihat aliran cakramu sedikit sekali yang mengalir di kening dan dada. Terpancar kuat warna merah dari area tulang ekor kelamin, selangkangan dan perut. Kau takkan bisa menjadi murid sang Budha, kau cacat sebagai manusia yang luhur. Cakramu masih kotor, sungguh perlu dibersihkan. Akan ku tarik aliran cakramu sedikit demi sedikit menuju anahata”
“tak perlu Ratnasambhawa, dia pengganggu. Dia primitive dari peradaban yang dia pikir modern. Tapi sebenarnya peradaban tolol penghancur alam”
Salah satu arca di stupa terbuka yang tak memiliki hidung menolehkan kepalanya padaku. Aku terperanjat dan derdiri terpaku di ujung pelataran stupanya, satu langkah ke belakang saja, aku akan jatuh.
“jangan cemari rumah ibadah ini, dengan kaki tanganmu yang kotor!” tangan sang arca yang dalam mudra aksobhiya, mendepak tubuhku hingga oleng hilang keseimbangan.
Aku jatuh. Bukkk! Tapi masih ku dengar dari atas sana, suara si arca tanpa hidung, pengheningan ciptanya terusik.
“kami merasa terganggu dengan kedatanganmu, pergi!”
“ku peringatkan kalian hey arca- arca dengan sikap yang berbeda, kalian butuh lebih dari sekedar duduk bersila, mematung diri seperti ini hanya ketololan dalam kehidupan zaman ini. Tak ada yang mau seperti kalian menjadi transendentalis tanpa pemikiran ilmiah”
“Hey, jaga ucapanmu!”
Kali ini dari arca di depanku, tangannya yang belum sempat ku lihat dalam sikap apa, telah terjulur panjang mencengkram tubuhku. Jemari batu yang besar mencengkram dari dada hingga pinggul.
“ah sakit, ku mohon. Apa kau lupa tubuhku ini hanya sekumpulan daging dan tulang belulang lemah. Lepaskan aku” kataku meringis.
“hargailah keilahian yang ada dalam dirimu, Om nama shivayah” dengan cengkaram sekeras batu, aku didudukan, jemarinya dari tangannya yang lain mengatur sikap dudukku.
“cepat katakan apa yang ku katakan hey manusia”
Om Nama Shivaya. Ulangi mantraku!”
“tidak! Aku bukan penganut ajaranmu. Menggelikan sebuah patung Budha memaksaku mengucapkan mantra Hindu”
Cengkraman itu makin melilit kuat, rangkaku bisa remuk jika cengkraman ini tak segera dilepas. Aku berontak. Sia sia. Aku berontak lagi. Sia sia lagi. Aku berontak kembali dengan sisa tenaga. Sia sia, tenagaku tak bersisa. Aku lemas.
“tak ada gunanya kau memberontak, manusia penuh dengan kelemahan. Tolong ucapkan mantra itu”
Dengan tatapan nanar campur pilu. Rasa sakit dari cengkraman sang arca yang makin kuat, bertransformasi menjadi rasa pahit. Lidah keluku pahit mengucapkan mantra.
Om Nama Shivaya” air mataku meleleh.
“sekali lagi”
Om Nama Shivaya” air mataku menderas
“Terus”
Om Nama Shivaya” sekujur tubuhku kelu.
“Om Nama Shivaya” ku dengar arca di sebelahnya mengucapkan mantra yang sama.
“Om Nama Shivaya” lagi dari arca lain, merembet hingga suasana magis itu diwarnai gaungan doa para arca yang menambah suasana magis. Semua mengucap mantra yang sama “Om Nama Shivaya”
Saraf saraf lidahku secara magis bergerak, mulutku seperti katup yang terbuka tertutup. Keluku berubah menjadi kaku. Kakuku berubah menjadi batu. Batuku berubah menjadi satu.
Om Nama Shivaya”
“om ram, om svar, namo saptanam samsaka budha kotinam jita. om jarah wijra kundi svahar om bhur om mani padme hum”
Lancar saja mantra itu terlontar. Seiring mantra yang terucap mantap, tubuhku menjadi telanjang bulat, sehelai kain berwarna entah apa melingkar dari bahu kanan hingga area genitalia menutup rapat. Aku seperti tertanam kuat dengan cengkraman tangan sang arca yang terus menatap, membaur dengan lantai tanpa atap. Batu batu di sekitar seperti tanaman rambat yang tumbuh berkembang melingkariku. Menjadi stupa setengah terbuka. Seakan sedikit tersadar, ah ini kalpataru. Sang pohon terus tumbuh dan merambat, merasupiku. Seperti tato berupa urat urat kapiler dan venaku menjadi akar pepohonan. Timbul.. lalu hilang dalam daging. Apa ini? Aku tak sadar seluruh diri ini menjadi bercahaya seperti matahari tengah terbit dari punggungku. Seperti aura yang bersatu padu, mengalir lancar dan bersih, aliran elektromagnetis yang indah membentuk spectrum cahaya matahari. Cakra dasar (mooladara) Cakra seks (swadistana)  Cakra Solar Pleksus (manipura) Cakra jantung (anahata) Cakra tenggorokan (visudhi) Cakra mata ketiga (ajna) Cakra mahkota (sahasrara) bersih menyatu. Memfusi. Sang Budha yang duduk diatas bunga padma. Stupaku tertutup. Tapi cahaya itu berputar, meluap meluap makin mengkilau terang...  Tubuhku terasa ringan , dengan mudra amitabha tubuhku melayag layang diatas padma. Subhanallah… kata itu terucap spontan. Dan sswiiiiiiiiiiiiish.. seperti kilatan cahaya, aku merasa tubuhku disobek sobek, seperti debu yang dihembus angin, seperti air yang menguap terbang, panas, lalu dingin lalu hangat lalu tak berasa apa apa, aku tahu aku ada, karena aku masih berpikir. Tapi aku tak berwujud, mana wujudku? Aku tak merasa punya kulit, perut, kepala, tangan, kaki, telinga, mata. Mana? Kemana mereka? Aku ada tapi aku tak berada. Aku yakin aku ada. Ingin rasanya aku menangis tapi aku tak merasakan mataku, apalagi kelenjar air mata. Aku merasa tapi tak berkulit, aku melihat tapi tak bermata, aku mendengar tapi tak bertelinga. Om Nama Shivaya.. hargailah keilahian dalam dirimu. Yang ku lihat hanya kilatan cahaya. Hangat. “ Om Nama Shivaya”  “innallaha ma’ana” kataku lirih..
Lalu semua tampak jelas dari atas, ku lihat tubuhku digotong. Dari lantai pelataran ruphadatu yang berceceran darah tempatku jatuh. Tak ada mata sembab, tak ada tangisan. Aku hanyalah sudra.

Selasa, 18 Desember 2012

lament for queer


Kakiku bak serabut akar
Menyerap asi ibu pertiwi
Kepalaku bercabang
Rimbun rambutku  daun daun terhelai
Dipelataran yang anggun
Aku menjadi beringin yang dingin
Biarpun matahari menyinari, tetap ku simpan
Bayangan hitam ini untukku membaca diri
Aku tak ingin menjadi terik
Yang begitu kemilau
Dimana hitamku lenyap tersirap
Tidak, bumi ini punya siapa?
Hingga aku tak berhak berdiri

You Are the Apple of My Garden


Hujan turun..

Perbincangan itu berhasil ku rekam dalam otakku, perbincangan yang berlangsung di sebuah taman mini yang sebenarnya adalah halaman sebuah rumah yang sengaja dijadikan asri oleh sang penghuni, berisikan bermacam macam tanaman. Ada apel, jeruk purut, mahkota dewa, cabe, pohon saga, sirih, bonsai, bunga mawar dan pohon tomat. Ya, mereka berbincang-bincang kawan, pohon pohon itu berbicara. Perbincangan yang sulit diterima akal sehat memang, namun jika kita mau menanggalkan kewarasan kita, kita bisa mendengar mereka yang sedang berbincang, semakin tidak waras semakin jelas tiap kata yang mereka ucapkan. Hanya saja kita masih bebal mempertahankan kewarasan yang kita anggap paling mumpuni dan ampuh mencapai tujuan hidup, tapi lihat? Bisa terlihat? Keadaan bumi seakan menunjukan tujuan kewarasan kita sekarang. Kehancuran.

“Namaku tomat, tanpa hujan aku akan kehilangan nyawa. Maka dari itu aku lebih tertarik menyembah air, ketimbang api. Banyak agama di taman ini, aku mempercayai air yang memberiku kehidupan, sirih sahabatku beragama tanah, pohon nangka beragama matahari, lebih jauhnya para pohon menjulang di pelataran rumah tetangga menyembah api, karena menurut mereka jika matahari tak berapi, takkan ada kehidupan di dunia ini. tapi aku lebih suka air, karena hujan lebih segar, memberikanku kesejukan. Teman baikku adalah tanah alluvial coklat kehitaman yang kaya akan hara, semacam rizobium, cacing dan seekor ulat bulu hitam. Yang menarik adalah aku berbakat merubah segala bentuk kekotoran dalam tanah menjadi daftar nutrisi yang melimpah seperti magnesium, kaluim, besi, yodium, tembaga, seng, vitamin A, C, dan masih banyak lagi. Aku besar secara organic, maka dari itu si ulat bulu masih dengan nyaman mengunyah dedaunanku. Aku lebih baik dari manusia yang tidak mengetahui apa apa mengenai kehidupan sebelum mereka dilahirkan. Aku tahu benar bagaimana aku bisa tumbuh besar”
“Kira kira begini ceritanya”
“Satu biji yang dibuang seorang anak muda dari mulutnya yang merasa tidak nyaman ketika menyeruput jus tomat dari warung dimana aku disenangi dan dijajakan untuk dipotong, di-blend dan diberi es. Aku terima saja, karena aku menyimpan ribuan informasi dalam bagian bagian diriku yang takkan hilang, yang saat itu hanya berupa biji biji. Aku menyimpan semua informasi lengkap tentang dunia, bumi, tanah, serangga, cuaca, termasuk anak muda tadi dalam manifestasi mungil, biji bijiku. Sengaja ataupun tidak, anak muda itu meludahkan satu bijiku ke pekarangannya. Aku bahagia”
“Dan inilah aku, kau lah anak muda itu. Kita terikat takdir” katanya padaku ketika kami saling berhadapan.
Ku lihat dari tanah yang gembur, menjulang sebatang hijau kecil pohon tomat berumur dua bulan. Tidak lebih dari satu meter, pohon itu memiliki buah buah yang mungil, masih hijau. Dengan daun yang cukup rimbun untuk ukuran sebangsa Solanaceae (terong terongan). Di ujung salah satu daun daunnya yang berbulu dari tangkai yang menjauh ke barat, bertengger seekor ulat bulu hitam gendut dengan tenang sedang tertidur pulas, sedangkan aku di timur,. Seakan menyadari perhatianku pada sang ulat si tomat berbicara melalui stomata stomata di sekujur tubuhnya.
“jangan ganggu dia, dia berhak hidup”
“aku geli melihat seekor ulat hitam di tanaman tomat yang hijau, terlalu mencolok. Dia seakan membuatku gatal gatal”
“dia belum sama sekali menyentuhmu. Itu perasaanmu saja. Manusia, saat ini sangat lemah terhadap alam, mereka menjauh dari kekerasan alam dan berlindung di titik nyaman tanpa mau belajar menjadi the fittest. Sedikit sedikit alergi. Seperti gelas tipis yang mudah pecah saja kau ini. Jika seleksi alam berlangsung seperti yang terjadi di ribuan tahun lalu, gas racun, ledakan meteor, gunung meletus dll. Spesies manusia hanya akan punah seketika. Sedangkan para tanaman akan mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi dengan menyimpannya baik baik dalam biji biji mereka”
“tolong katakan pada ulat itu untuk tidak mengganggu manusia”
“tidak ada yang mau ikut campur dengan urusan manusia di taman ini. Manusia yang mencampuri urusan kami para tanaman. Apalagi si ulat, dia hanya bisa makan, kau tidak akan menyesal tidak membunuhnya setelah melihat dia mengepakkan sayap sayapnya”
“baiklah, aku harus pergi”
“ya, pergilah”

Aku pergi, karena tuntutan peradaban yang sedang dan harus ku jalani. Rutinitas. Namun perbincangan dengan tomat ku pikirkan terus menerus, semua terjadi tanpa bisa ku jelaskan dengan akal sehat. Aku gila. Yang jelas, aku bisa mendengarnya mengatakan semua itu melalui semacam senyawa kimiawi yang dia keluarkan dari sekujur tubuhnya lalu ku cerna di otakku begitu saja, mungkin stomata-stomata yang menyerupai mulut itu yang membuatnya bisa bicara. Bukan hanya tomat sebenarnya, tapi pohon lain pun, semua seperti sambungan telefon, memiliki koneksi dan kode masing masing agar terhubung yang bisa kau koneksikan dengan hati dan otakmu. Dalam hal ini aku lebih terikat dengan tomat karena ikatan takdir kami. Pernah ku pertanyakan fenomena ini kepada si tomat. Dalam umurnya yang hanya 4 bulan, dia mengatakan mungkin saja kulitku menerima semua impuls senyawa kimiawi darinya dan menerjemahkannya dengan proses neuron biasa.
“Neurosis? Psikoneurosis kah? Itu artinya mentalku terganggu!” pekikku di tengah rutinitas yang mengagetkan orang orang di sekitar. Aku malu.
Ya, rasa malu menunjukan aku masih menjaga kehidupan sosialku. Bagaimanpun juga, aku hidup dalam peradaban yang tidak menganggap normal sebuah perbincangan dengan pohon tomat, aku harus menyimpan kegilaanku bersama tomat dan mengedepankan kewarasanku bersama manusia. Aku harus sadar betul itu, menjadi the fittest yang dikatakan tomat tidak sama dengan the fittest abad ini, semua tentang uang. Jika seseorang memiliki uang banyak, dia yang akan menjadi the fittest. Ku pikir tak ada yang mau mempekerjakan orang yang berbicara dengan pohon tomat, aku harus jadi the fittest. Aku bisa langsung dipecat jika ketahuan punya semacam ketidakwarasan berbincang-bincang berssama tomat”. Tatanan abad ini, menuntut kewarasan sebelum menjadi tidak waras sepenuhnya karena mabuk kekayaan. Aku belum kaya, untuk itu aku butuh kewarasan lebih dari apapun saat ini, setelah itu akan ku tanam berhektar hektar perkebunan tomat untukku ajak mereka beribancang bincang sepanjang waktu hingga tutup usiaku. Tapi belum saatnya, tidak.. maafkan aku tomat, saat itu ku putuskan tuk menjahi tomat. Aku harus menjauhimu.
Dan ku jauhi tomat pelan pelan. Hasrat untuk menjadi waras selalu saja tertanggu jika aku melewati taman dan melihat si tomat yang sedang tersiram sinar matahari, menjadi tidak waras ternyata adalah kemampuan alami yang menyenangkanku. Jadi sesekali aku masih menguping pembicaran si tomat dengan pohon lain. Hampir dua minggu aku tak duduk di taman rumah, bisa dibayangkan betapa gilanya aku di mata orang ketika mereka melihat aku berbincang dengan pohon tomat.

Tapi semua berubah..
Suatu hari, ketika pohon apel berbuah. Semua tanaman di halaman seperti sibuk membicarakan sang primadona yang baru saja lahir, merah menyala.
“Lihat, aku iri sekali pada apel merah itu.. begitu merah menggoda” Kata si mawar yang kalah merah.
“Sebenarnya menjadi cantik adalah kutukan, apel dikutuk dalam banyak cerita. Snow White, kau tahu bagaimana apel dikesankan disana. Adam dan Hawa. Issac Newton, walapun kasusnya berbeda, setidaknya cerita cerita manusia itu memberi kesan mistis pada buah itu” Sirih menyangkal.
“Bukan itu saja, kalian tau Alan Turning si bapak computer modern, meninggal bunuh diri karena frustasi terlahir gay, dia mati dengan mengigit apel yang mengandung sianida” Mahkota dewa menambahkan
“Aku sirih, jika ku punya kekuatan sihir aku akan merubah daun daunku menjadi merah menyala. Tangkaiku akan ku rubah jadi kuning keemasan, lalu kuncupku akan berwarna merah muda yang lembut menenangkan hati yang melihatnya”
“Kalian, bisakah kalian bersyukur? mawar, duri kita adalah anugrah, apel merah itu hanya akan menggoda penjahat untuk memetiknya. Percayalah kita tercipta dengan kelebihan dan kekurangan masing masing” Jeruk purut yang sedari tadi mengerut dahi, mulai angkat suara.
“Ini keinginan yang sangat alami. Aku bosan diciptakan tidak mampu bergerak kesana kemari. Hanya terpaku, diam hingga akhir hayat. Aku ingin menusukkan duri duriku pada mereka yang sengaja merusak keindahanku. Kita diciptakan Tuhan menjadi makhluk yang sangat pasif, patutkah kita bersyukur?” Sanggah mawar
“Bayangkan saja, jika kita berjalan jalan, aktifitas bumi akan kacau karena banyak dari kita yang terlampau besar jika berjalan bersama makhluk lainnya. Bagaimana burung burung bisa bersarang dan bertengger jika kita hilang dari tempat seharusnya kita berada. Tanah yang kita pijak sudah beraspal dan berbatu. Tidak kah kau mengerti, kita akan mati jika diciptakan bisa bergerak bebas. Kita harusnya bersyukur tercipta pasif, tanah yang kita pijak adalah bentuk kekokohan hidup kita” Timpal jeruk purut
“Kau lupa aku percaya matahari? Kau memang penganut kepercayaan tanah yang taat”
Entahlah, dari perbincangan para pohon, aku menangkap banyak pesan bijak. Mereka menyimpan banyak informasi yang luar biasa tentang bumi. Bahkan banyak hal menyangkut manusia. Perbincangan sebenarnya masih berlanjut, hanya saja, dari tadi aku tak mendengar si tomat berbicara sepatah katapun. Biasanya dia ceriwis. Ku lirikkan mataku pada sudut taman yag lain. Ku perhatikan dia. Ah.. dia masih berdiri anggun di atas tanah, si ulat sudah menjadi kepompong ternyata.
“Hey tomat, sudahlah dia bukanlah jodohmu” Kali ini cabe angkat suara
“Aku tak ingin mendengar apapun darimu”
“Kau bukanlah sebangsa buah buahan, apalagi apel yang merah merona indah, bahkan hingga saat ini kau masih membingungkan banyak makhluk, kau termasuk buah atau sayuran”
“Aku ya aku, aku tomat”
“Pupuskan saja rasa cintamu itu pada apel, lihat dia.. tingginya 4 kali lipat lebih tinggi derajatnya ketimbang kita”
“Aku hanya mengaguminya, tidak mencintainya.. kau tahu? Semacam perasaan yang tidak bisa kau sampaikan pada bulan di angkasa, jika kau hanya punguk yang bisa terbang di ketinggian 20 meter”
Tomat menyukai apel? Pertanyaan itu tumbuh seperti rumput dalam hati. Rasanya lucu memikirkan hal ini. tapi dari postur yang terlihat, entah karena sikap angin yang terlau menghembus, tubuh tomat seakan miring dengan pose yang sedang menengadah memandangi apple yang menjulang di hadapannya, membuatku miris. Lalu pandanganku ku alihkan ke pohon apel yang lebih tinggi tersebut. Merah. Siapapun penghuni rumah termasuk aku bisa memetiknya kapanpun mereka mau, tapi yang lebih berhak adalah nenek, karena dia yang senantiasa mengurus taman.
Seakan ingat Tuhan, aku ingat rutinitasku esok hari. Gila banyaknya tugas dan kerjaan kantor. Ku simpan saja semua ketidakwarasan ini, ku lupakan tomat. Pukul 23 di menit ke 37 detik ke 10, terbelesit kejantananku. ku pikirkan kekasihku Eva yang esok hari setelah pulang dari rutintias kantor, kami akan membicarakan soal keseriusan kami pada ayah dan ibuku, juga nenekku. Setelah itu baru ke rumah Eva untuk melamarnya langsung pada kedua orangtuanya. Ah.. bahagia namun sedikit menegangkan, tapi itulah laki laki, menyukai ketegangan dan tantangan. Esok hari adalah tantagan. Harus ku persiapkan energiku untuk besok. Ku pejamkan mata.

Pagi. Matahari seakan tak mau bertanggungjawab telah menghamili bumi, bersembunyi di balik awan awan yang tebal. Aku melangkah kokoh menuju hari ini, Aku bukan matahari.
“A, aduh neng deg-degan, takut sama mamah kamu..”
“Emang si mama teh mau ngapain kamu? Da aa teh udah gede, udah mantap sama kamu. Kamu ge harus mantap. Sing pede nyak..”
“Fiuuhh..” ku lihat senyum di bibir Eva, dia melihat ke arahku, raut mukanya seakan mengatakan “aku siap”. Senyum tipis menghiasi kami yang memasuki rumah, senyum berkembang menjadi tawa, tawa merekah jadi riang canda.
“Tinggal ke rumah kamu sayang..” kataku sembari mencubit pipi Eva sembari ke luar dari pintu.
“Iyaaa.. Alhamdulillah ya a” kataya sumringah, mukanya seperti mawar yang mekar. Seketika pandanganku langsung bertuju pada bunga mawar indah di taman yang juga merekah merah muda sepeti pipi Eva. Akan ku petik dan ku sisipkan di telinga Eva untuk menambah kebahagiaannya. Namun tanpa ku sadari mata Eva telah terpaku pada hal lain. Perhatianku pun teralihkan.
“A apelnya minii merah.. jigana enak”
Tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju apel yang bisa ku petik dengan mudah. Hanya tinggal beberapa inci antara tanganku dan apel, aku mendengar jeritan jeritan. 10 suara pekikan tajam menusuk telingaku.
“Tidaaaaaaaaaaaaak”. Sirih dan cabe menjerit
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaakk” Mawar, jeruk purut menjerit histeris
“Jangaaaaaaaaaaaannnn” Tomat menangis
Tanaman tanaman itu menjerit. Apa boleh buat, apel sudah di tangan. Dengan bingung ku jauhi taman, tak mau disangka gila oleh Eva, aku berlagak tak mendengar mereka. Ku serahkan apel itu pada Eva dengan tenang aku mengatakan “You are the apple of my heart”. Eva tersipu, pipi dan senyumnya merona indah. Lalu kami memakannya berdua.
Semenjak itu tak pernah ku dengar perbincangan para tanaman lagi, telingaku jadi tuli. Atau mereka yang tak mau bicara padaku lagi, entahlah. Pernikahanku akan berlangsung di penghujung musim hujan. Dan hari ini musim peralihan, hujan memang tidak turun. Tapi kehangatan matahari menyiram tubuhku. Untuk tomat, ku titikan air mataku.


Rabu, 12 Desember 2012

GEJE


Di kampus lima lampu taman seperti lollipop raksasa rasa susu atau vanilla yang pasti akan dilahap balita raksasa yang nakal jika dia melewati daerah ini. Rerumputan hijau yang terbentang beberapa petak saja akan menjadikannya hutan lebat jika aku menciut menjadi liliput dan berpetualangan bersama semut semut mencari sebongkah gula atau permen.  Langit sore adalah telur dadar goreng dengan kocokan yang tak sempurna karena masih meninggalkan putih telur menggumpal bertebaran menjadi awan awan. Aku hanya sedang menunggu seorang teman memberi kabar, aku juga menanti seorang laki laki menanyakan kabar, sepertinya aku juga cemas mengharapkan sebuah percakapan keluarga saling memberi kabar. sebenarnya aku sedang menahan lapar, handphone yang sedari tadi ku pandangi telah ku bayangkan menjadi sepotong cake rasa coklat, pin yang sengaja dikaitkan di tas hijauku sudah kuanggap kudapan dengan baluran madu, jika saja satu diantara mereka tak membuatku menunggu, aku pasti telah tengah menikmati music dan mencamil roti gandum sambil berjalan santai  sembari berpetualangan kecil dengan pepohonan di sekitaran kampus. Tapi nyatanya hujan turun seperti jejaring laba laba yang runtuh dari langit, serabutnya menjaring siapa saja yang tanpa perlindungan. Tak ada yang bisa ku perbuat selain bersandar di ujung tembok mencari kehangatan..Setelah percekcokan tadi siang dengan jiwa, aku masih keras kepala tak mau merubah surat, dia tidak mau muncul di keramaian, tentu saja tidak, ada banyak yang terjebak hujan.
“Hey lelaki malang,,” suara kecil tanpa wujud.
“tak ada yang berhak mengasihaniku!”
“tapi kau pantas dikasihani..”
“siapa kau, tunjukan wujudmu!”
Seekor burung, seperti onde onde dilumuri coklat terbang turun, burung itu basah kuyup berteduh di teras sudut gedung Zb. Burung pipit, mungil dan mengigil.
“apa kau yang bicara padaku burung kecil?”
“siapa lagi disini yang mau mengajakmu bicara?”
Aku kaget bukan kepalang, seekor burung datang dari langit mengajakku beribcara, dia mengasihaniku, Tuhan mengasihaniku.
“apa kau utusan tuhan burung kecil?”
“tidak, aku hanya kehujanan ketika terbang menuju sarang dan melihat tatapan sedihmu”
“aku pikir kau Jibril yang menyuruhku membaca, aku bisa membaca”
“apalagi aku bisa membaca pikiranmu”
“kau Jibril”
“bukan”
“bawa aku terbang wahai burung kecil”
“tidak bisa, sayapku terlalu mungil untuk menopang tubuhmu yang penuh dosa, berat. Kau berat”
“apa kau burung bulbul?”
“itu dewa kami”
“aku pikir dewamu, burung ababil”
“itu dewa para burung pemangsa”
“jadi kau hanya ikut berteduh disini?”
“tidak juga, aku dari tadi memperhatikanmu, seandainya aku rajawali, aku akan membawamu terbang”
“ku pikir rajawali juga masih terlalu kecil memikulku”
“garuda”
“masih terlalu kecil”
“Jibril”
“tidak buruk”
“kita sama sama terjebak hujan”
“iya, dasar laba laba langit memang genit”
“oya mulailah sebuah perbincangan, sepertinya kau punya banyak untuk diperbincangkan”
“tidak ada, aku hanya merasa buruk hari ini”
“Kenapa?”
“karena ini hari selasa”
Sementara burung dan aku menghindari cipratan air, kami melihat seekor cacing merayap pelan sekali diatas tanah basah, mencoba merayap menuju teras yang minim air, sepertinya dia kewalahan melawan air, mungkin rumahnya dalam tanah terendam air, sehingga dia keluar mencari oksigen. Meskipun cacing memiliki system respirasi khusus melalui sekujur tubuhnya, kulit dan cairan tipis yang membungkus tubuhnya, kutikula menyulap oksigen yang minim dalam tanah, kulitnya menyerap udara dan hemoglobin mengikatnya langsung  melalui pembuluh darah kapiler yang menyebarkan oksigen ke seluruh tubuh. Tubuh cacing memang 85% terdiri dari air, tapi tetap saja dia tidak memiliki kepraktisan insang untuk menyaring oksigen dalam air. Sang cacing terlihat lemas merayap, dia menjadi seperti mie yang diresapi saos tomat diatas mangkuk yang penuh kuah bumbu rempah rempah coklat dari kuah kaldu ayam, mie ayam depan kampus. Ku kibaskan tasku kebelakang, sembari menghindari air, dan membawa ranting yang tergeletak di dekatku, ku selamatkan cacing dan membawanya mendekat.
“hey apa yang kau lakukan laki laki?”
“Aku menolongmu”
“kau malah mendekatkanku pada burung sialan itu, dia akan memangsaku”
“hey cacing, aku tidak suka cacing, aku suka bebijian, aku vegetarian” kata burung ketus.
Cacing tak percaya, dan menjauhi kami. Tapi tak lama kemudian dia berbalik kembali dengan angkuh dan marah.
“Tapi aku takkan melupakan kaummu yang telah membunuh keluargaku!”
Burung mengepakkan sayapnya tanda tak setuju, bulu bulunya sedikit demi sedikit mengering.
“Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan aku untuk sebuah kesalahan yang tidak ku perbuat!”
“Itu kesalahanmu karena kau terlahir sebagai burung, pemangsa para cacing yang tidak berdaya!”
“Namamu pasti Hitler cacing!, kau pasti reinkarnasi si kejam Najis itu”
“APA hubungannya aku dengan orang itu? Kenal pun tidak”
“Tak usah kau sombong, kau ku patuk sekali saja pasti mati, seharusnya kau berterimakasih pada anak itu karena menyelamatkanmu dari tenggelam”
“Tidak akan pernah, dia menjijikan, sama menjijikannya seperti kamu”
“Hey, apa yang kau katakan cacing, jadi kau tidak suka aku selamatkan?” tanyaku juga sedikit marah.
“Tentu saja, aku lebih baik mati terhormat tenggelam daripada disini berbaur menghirup nafas dari udara yang sama kalian hirup”
Aku dan burung saling berpandangan, cacing terlihat seperti cacing, menggelinjang merah, dari kulitnya terlihat jelas urat uratnya yang mengilrkan darah. Menjijikan. Dia bukan mie ayam berbalur saos.
“kami tidak merasa punya salah padamu cacing, tapi kau menyalahkan kami”
“Demi Tuhan, kalian memang bersalah, keberadaan kalian di bumi sebagai perusak dan penghancur”
“Seharusnya kau salahkan Tuhan karena menjadikanmu makanan kaum burung” ketus burung,  “kau tidak pantas dihormati, kau congkak dan tidak bijak”
Si cacing menghela nafas panjang, mungkin perkataan burung membuatnya telak, lalu dia pergi meninggalkan kami dengan pelan, aku dan burung berpandangan. Tak disangka Hitler bereinkarnasi menjadi makhluk naas seperti itu. Seperti tak ingin menghiraukan gangguan kecil, burung menyunggingkan senyum.
“Tadi sampai mana kita?” tanya burung.
“Mmm.. sepertinya sampai hari selasa.”
“Ya, mengapa selasa, ada apa dengan selasa, bukankah itu hari ini?”
“Iya, aku hari ini mengerjakan tugas, aku pikir tugas itu tidak dikumpulkan hanya sekedar dibahas dalam kelas, jadi tidak aku print. Karena penghamburan kertas, ternyata tugas itu dikumpulkan. Aku sebal dan kesal, usahaku sia sia sial”
“hanya itu saja? Ckckckck.. kau terlalu berlebihan”
“ya begitulah, itu hanya satu dari akumulalsi kesedihan hari selasa”
“ada apa lagi?”
“tak bisa ku ceritkan sekarang, sepertinya hujan juga mulai reda.. aku kelaparan”
“iya, tentu saja kau harus makan, aku pun juga harus segera terbang dan mengecek kondisi sarang setelah hujan”
“Kalau begitu kita akhiri sampai disini saja, nanti kita sambung lagi yaa...”
“tapi, sepertinya masih gerimis burung, apa kau akan baik baik saja?”
“ayolah, gerimis takkan bisa membunuh seorang pejuang kehidupan”
Aku tersenyum,, burung itu mungil dan entah kenapa aku merasa kami ada kecocokan, paruhnya yang kuat memberinya kehidupan, sayapnya yang mungil mampu membwanya terbang, bulunya yang kelam mampu membuatnya tetap hangat, matanya yang jernih mampu melihat kejujuran dan ketulusan, kakinya yang kokoh membantunya berdiri dikala angin berhembus kencang. Oh burung kecil.
“Selamat jalan Jibrilku...”
Si burung pun terbang, menuju langit yang tidak lengang.. aku masih harus menghadapi selasa yang masih cukup panjang, yang sepertinya akan membuatku tidak senang, ah.. Dasar makhluk malang.

Selasa, 22 Maret 2011

GELAP

KETIKA kegelapan membenarkan diri
Gelap, silahkan buka aku seluruhnya
Bawa aku pada satu titik keterdalaman tanpa dasar
Jadikan aku begitu pekat
Matikan seluruh cahaya agar kau bisa merenggutku sepenuhnya
Telanjangi malam ini, dan bawa aku menghilang
Telanjangi aku di ruang tanpa Tuhan perlu tahu aku ingin tahu Dia tahu
Tanpa seorang pun tahu, congkel bola mata mereka agar mereka bisa melihat kegelapan
Jerumuskan mereka pada alpa dan hilang, telan mereka bulat bulat saat semua cahaya lelap
Maka mereka akan mencerna kegelapan dalam pikiran mereka
Penggal kepala mereka lalu tekan dan ledakkan! hingga mereka tak mampu menjerit
Biar kau tambah pekat, lekat tak tertembus tanpa keterangan yang mampu menerangkan kegelapan milik kita ini

Gelap, miliki aku seutuhnya
Perangkap aku dalam malam yang erat
Dekap aku, cekik aku tanpa semilir angin mampu kurasa
Hisap tubuh lugu ini hingga lenyap
Kau larikan aku dari Tuhan
Kau jadikan aku penggelap kegelapan
Mari menyatu
Ketika Tuhan menerka nerka
Ketika Tuhan bimbang
Ketika Tuhan tak mampu memutuskan
Ketika Tuhan sama sekali tidak peduli
Ketika Tuhan benar benar sama sekali tidak mau peduli
Ketika Tuhan tidak mau tahu
Ketika Tuhan sama sekali tidak mau tahu
Ketika Tuhan tidak tahu
Ketika Tuhan benar benar tidak tahu
Mari menyatu
Aku mencintaimu seutuhnya.



Kamis, 17 Maret 2011

Suatu Malam..

Begitulah.. uap dari teko mengepul, meningatkan selera kafein yang tercium dari cangkir kopi hitam yang dilarutkan Tak ada yang bisa membuatkan kopi untuk seorang perempuan di pagi hari. Apalagi malam hari, kecuali dirinya sendiri.. Untuk ini, Tuhan adalah perempuan penikmat kopi yang membuat kopinya sendiri.   hahaha.. itu saja sebenarnya.

KUTIPAN KUTIPAN


4 Februari 2009 Bandung diguyur hujan, matahari kalah telak, dia bersembunyi dibalik awan. Kini hujan menguasai Bandung..sebuah mobil melaju pelan di sebuah jl daerah utara bandung, sang pengendara seorang lelaki dengan dandanan necis, rapih, tengah menyetir sembari menelephone pacarnya.. konsentrasinya dibagi dua. Maka dia memelankan laju mobilnya.
“hallo sayang aku sebentar lagi nyampe’’ katanya sembari tersenyum
“hah?? Emang udah nyampe mana??’’ jawab suara disebrang.
“dago..“
“ih jahaaattt!! Kok cepet banget???“
“Bandung – Jakarta kan cuman dua jam.. kan kamu sendiri yang nyuruh aku cepet- cepet“
“Jahat kamu... harusnya kabarin aku dulu pas kamu di tol, aku kan bisa siap siap dulu, aku belum mandi“
“pantes, pantes ada bau bau aneh dari tadi di sekitar dago nih.. hhihihihi..“
“ih jahat!“
“Gak lah sayang.. keledeiku mau mandi atau enggak teteup cantik dan manis kok.“
“Hhihihi.. bisa aja dasar kebo gombal!“
“tapi kalo belum mandi cantiknya jadi ditambah...“
“ditambah??”
“iya, ditambah bau, ditambah keringat, ditambah daki.. hahahahah..“
“dasaaaarrr!! Jahaaaaatttttt!
“ya udah, gih mandi.. nanti acara kangen-kangenannya keganggu lagi.. hihihi...“
“siap bos kebo!!!! Emmuah...“
“Emmuah“
“eh bentar bentar jangan ditutup dulu! Kita jadinya mau kemana??“
“hmm... aku mau culik kamu ke Lembang“
“ih maen culik culik anak orang wew..“
“Hahahha... tenang kita lihat, anak ini bakalan diculik dan disekap tanpa perlawanan, ditambah orang tuanya bakalan dengan senang hati anaknya diculik“
“oh yah? Hahaha..gak papa deh kalo yang nyulik pangeran kebo tampan jauh jauh dari Jakarta.. hihihi.. pulangnya jangan kemaleman ya.. mamah bisa ngamuk, nanti kamu diblokir datang kesini..hihihi..“
“tenang pacarmu ini bakal pasang trik lobi lobi yang udah disiapin dari Jakarta“
“ih dasar! penculikan berencana.“
“Hahahaha..“
“Hahahha...“
“Aku mandi ya..“
“Iya...“
“Love youuuuuuuuuu..”
“Love youuuuuuu...”

Pembicaraan berakhir, sebelum sampai tujuan, sang lelaki dengan mobil menepi di sebuah minimart.. mobil itu terparkir, sang pengendara keluar dan pikirannya masih berbunga bunga, tawanya masih tersungging, Bandung memang penuh cinta.. hujan menurunkan jutaan cinta dari langit. Dibelinya sebuah minuman, ketika keluar dari minimart sebuah suara seorang perempuan memanggil-manggil ke arahnya dari jauh..
“Yudha....“